• Pemerintah Aceh Lakukan Pertemuan Tindak Lanjut dengan Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah RI
  • Wakil Gubernur Aceh Fadlullah Dengarkan Langsung Keluh Kesah Mahasiswa Aceh di Malang
  • Wakil Gubernur Aceh Fadlullah Dengarkan Langsung Keluh Kesah Mahasiswa Aceh di Malang
  • Aceh Raih Gold Award UB Halalmetric 2025, Komitmen Memperkuat Ekosistem Halal dan Wisata Syariah
  • Wakil Gubernur Fadhlullah Pastikan Asrama Mahasiswa di Malang Segera Direnovasi

Kisah 6 Nelayan Anak: Kami Tidak Ingin Melaut Lagi, Tapi Ingin Sekolah Lagi

Mawardi (baju cokelat) bersama lima Nelayan Anak Dibawah Umur lainnya saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 16 Juli 2020. (Foto: Humas BPPA)

Jakarta - Duduk melingkari meja kayu coklat berbentuk oval, enam remaja itu terlihat tenang. Karena tak seperti biasanya, pada Jumat 17 Juli 2020 pagi itu, mereka berhadapan dengan orang nomor satu di Pemerintahan Aceh.

Walau tak terlihat senyuman, karena masker medis yang menutupi wajah mereka. Tapi gerak gerik para remaja itu tampak semangat. Timbul harapan baru dalam mata mereka, seolah ingin segera sampai ke kampung halaman.

Keenam nelayan anak dibawah umur ini, tengah diajak ngobrol oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Ir Nova Iriansyah MT di ruang rapat lantai 2, Mess Aceh Indramayu, Jakarta.

Satu persatu mereka memperkenalkan diri. Ikbal (16) asal Kampung Leugeu Baru, Peureulak, Aceh Timur, yang duduk paling depan memulai menyebutkan namanya.

Lalu, diteruskan Mawardi (16) asal kampung Matang Bungong, Idi Rayeuk, Aceh Timur, Abdul Aziz (16) asal Paya Seungat, Peureulak Barat, Aceh Timur.

Berikutnya, giliran Mustafa (18) asal Idi Cut, Aceh Timur, Hamdan (17) Peudawa Rayeuk, dan terakhir M Israkil Kasta (17) asal Pulo Blang Mangat, Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

Sementara Mawardi yang ditangkap petugas keamanan Thailand bersama 32 nelayan lainnya di Perairan Andaman, pada 21 Januari 2020 lalu, dengan Kapal Motor (KM) Perkasa Mahera dan Vothus menceritakan kisahnya.

"Kami ditangkap saat hendak mau jemput boat kecil (Vothus) yang mengalami kerusakan mesin, hingga dibawa arus laut memasuki wilayah perairan laut Thailand," ujarnya.

Apalagi, boat kecil tersebut dikemudikan oleh adik kandung sang pawang di kapal tempatnya bernaung. Sehingga berinisiatif untuk membantu menariknya. "Padahal saat itu kami sudah mau pulang ke darat. Namun karena dihubungi dengan telek, kami balik lagi," katanya.

Karena kejadian itu, mereka pun diamankan oleh petugas, dengan alasan sudah melewati perbatasan wilayah negara Thailand. "Padahal hanya 2 mil boat itu lewat ke perairan mereka," kata Mawardi yang saat itu ditangkap sekitar pukul 06.00 pagi.

Mawardi bercerita, selama proses penahanan di Phang Ngah hingga persidangan, awalnya mereka dicampur dengan orang dewasa. "Kemudian kami bertiga yang masih anak-anak, dipindahkan ke tempat khusus anak," sebut Mawardi.

Lain lagi dengan Musfata, lelaki yatim piatu ini diamankan pada 10 Maret 2020 bersama 23 nelayan dengan menggunakan KM Tuah Sulthan Baru, yang mengalami kerusakan mesin kapal mereka di tengah laut.

"Jadi malam itu mesin kapal rusak, telek juga rusak. Sehingga kita hanyut tiga hari tiga malam, dan masuk ke wilayah mereka (Thailand) tidak terlalu jauh, sekitar 20 mil saja," kata Mustafa.

Namun, yang membuat mereka merasa bersalah adalah, jaring pukat yang dilabuhkan kapal mereka posisinya masih di dalam air laut. Sehingga mereka tidak bisa berbicara banyak.

"Di situlah salah kita sedikit. Waktu itu jaring pukatnya dalam air belum sempat diangkat, mesin boat sudah rusak. Kemudian saat itulah kami ditangkap, sekitar pukul 8 malam," ujarnya.

Padahal tambahnya, hasil tangkapan mereka tidak banyak. Meskipun sudah menjelaskan bahwa mereka terbawa hanyut karena mesin perahu mereka rusak, namun apa dikata pihak hukum kelautan Thailand harus tetap menjalankan tugas mereka.

Sebelum dibawa ke kantor polisi di Phang Ngah, Mustafa berkisah, mereka terlebih dahulu diminta mengisi data-data nama mereka secara lengkap. Malam itu, dirinya bersama dua anak dibawah umur lainnya masih bersama puluhan ABK lain.

"Namun, Besoknya kita bertiga dipisahkan dan dibawa ke Phuket, lebih kurang 25 hari, kemudian dibawa ke pengadilan untuk persidangan," katanya.

Dalam persidangan itu, ia mengetahui nelayan lainnya dihukum 1 tahun penjara. Sedangkan Musfata dan dua rekan sebayanya tidak dihukum, karena masih di bawah umur.

Mustafa melanjutkan, setelah mengikuti persidangan, dirinya bersama dua anak lainnya dibawa ke tempat tahanan semula, hampir dua bulan dengan makan seadanya. Mereka sempat berpidah lagi ke tempat lain, yakni ke Phang Nga. "Di sanalah kami bertemua pula dengan tiga ABK lainnya yang seumuran kami, dari kapal KM Perkasa Mahera," kata dia.

Mawardi maupun Mustafa, bisa bernafa lega mencium udara Jakarta saat keluar dari pintu pesawat Garuda. Dia dan kelima ABK dibawah umur tak dapat menahan harunya.

Dihadapan Plt Gubernur Aceh, keenam ABK ini mengaku menyesal dan tidak ingin melaut lagi. Penyesalan tersebut menjadi lucu karena diucapkan serentak dan membuat semua yang berada di dalam ruangan tertawa. "Kami tidak ingin melaut lagi," serempak sama-sama menjawab pertanyaan Plt Gubernur Aceh.

Mawardi beserta kelima ABK anak dibawah umur itu berharap, mereka punya harapan baru ketika sampai di Aceh. Mereka ingin melanjutkan sekolah lagi. Hampir kesemua anak ini putus sekolah, dan hanya menyelesaikan Sekolah Dasar (SD).

"Cuma, seandainya ada kesempatan untuk sekolah lagi, dan pemerintah mau membantu agar kami bisa sekolah, kami semua mau," kata Mawardi.

Dia bercita-cita untuk menjadi "Brandweer", atau PMK, pasukan yang bertugas memadamkan kebakaran.

Mereka bersyukur dan berterimakasih kepada pihak yang telah membantu pemulangan ini, terutama Pemerintah Aceh dan Pusat. "Kita juga berterimakasih kepada bapak Plt Gubernur, dan pihak lainnya yang telah membantu kami," ujarnya.