JAKARTA - Belum maksimalnya implementasi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) membuat banyak sektor riil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, terkendala. Hal ini membuat perekonomian dan pembangunan Aceh menjadi terhambat pula.
Hal itu disampaikan Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, saat bertemu Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, di Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Selasa, 12 November 2019.
"Bertemu dengan Pak Menhan, Prabowo, kita membahas banyak hal, terutama terkait dengan perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, masalah perekonomian, sistem peradilan, penyerahan kewenangan, pembentukan badan adhoc, permasalahan reintergrasi dan butir-butir MoU yang masih bermasalah (belum dilaksanakan)," jelas Wali Nanggroe didampingi staf khusus, Mohammad Raviq.
Menurutnya, poin-poin yang diutarakan tersebut sangat diperlukan Aceh saat ini agar dapat terus membangun dalam berbagai sektor. Misalnya terkait perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara yang belum merujuk pada tapal batas atau peta bertanggal 1 Juli 1956 sebagaimana diamanahkan dalam poin 1.1.4 MoU Helsinki.
"Belum lagi masalah lainnya seperti bidang perekonomian. Seharusnya pemerintah pusat sudah melakukan penyerahan pengelolaan pelabuhan laut dan bandar udara kepada Aceh, juga terkait masalah perdagangan dan bisnis internasional yang masih terkendala dengan peraturan UU nasional," ujarnya.
Ketua DPR Aceh, Dahlan Jamaluddin, mengatakan, pertemuan Wali Nanggroe dengan Menhan selain dalam rangka silaturahmi dan memberikan ucapan selamat atas ditetapkannya Prabowo sebagai Menhan, juga membicarakan penguatan perdamaian di Aceh sebagaimana cita-cita dan kehendak politik perdamaian yang tertuang dalam MoU Helinski.
"Nah, beberapa hal itu yang kita diskusikan dan beliau (Menhan) sangat antusias mendengar paparan kami. Menurut beliau, masalah-masalah yang ada di Aceh seharusnya sudah selesai sejak lama," ujarnya.
Di hadapan Prabowo, Dahlan juga menyampaikan bahwa perdamaian Aceh harus berlanjut. Jika pun ada kendala-kendala di lapangan seperti proses implementasi UUPA misalnya, maka pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh harus bersama-sama mencari jalan keluar.
"Pada pertemuan tersebut, kita juga mendorong agar pemerintah pusat secara simultan dapat mewujudkan agenda-agenda politiknya di Aceh sesuai dengan cita-cita pembangunan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat," jelasnya.
Dalam pertemuan itu, dibahas pula sub-sub poin lainnya seperti akses perdagangan dan investasi yang masih terkendala perundang-undangan, pengelolaan migas, pengalihan Kanwil Pertanahan, auditor verifikasi pengalokasian pendapatan antara pusat dan Aceh dan lainnya.[](rilis)